TOP NEWS

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Maecenas mattis nisi felis, vel ullamcorper dolor. Integer iaculis nisi id nisl porta vestibulum.

Rabu, 24 April 2013

LEGENDA MANDAU TERBANG KALIMANTAN


 Oleh Syarif Banjar

Semenjak terjadinya kerusuhan etnis dayak – madura  di Kalimantan Legenda Mandau Terbang sudah membuka ruang tentang Hal-hal Ghaib di Kalimantan  bahwa orang dayak sakti-sakti …..?
Ada istilah pangkalima burung  dan pangkalima lainnya …..?
Dikalimantan Mandau terbang hanyalah sedikit hal kegaiban yang ada menurut perkiraan orang awam ,…maaf sebelumnya menurut penuturan almarhum kakek saya di daerah Nagara Daha …yang di wariskan dari kakek—kakek beliau yang sering kami sebut datu manggung ( temenggung)
Bukan lah Mandau yang terbang tapi ……Seseorang yang berperang tapi tidak kelihatan orangnya hanya pedangnya sahaja.

namun dalam terminalogi Banjar sesudah Islam  di tuturkan  ketika seorang membaca ayat 4
. Ayat Empat
a. Lailahailla anta subhanainni kuntum minazzalimin
b. Wallahu alibun alal amri
c. Ya haiyu ya qaiyum ya ilahana wailahukum ilahauwahidan......... ada lagi sambunganya
d. Yazal jalali wal ikram
n/b ditambah sedikit MIND SET
dengan keyakinan yang sangat kuat  bahwa peperangan akan dimenangkan   olehnya sehingga dalam peperangan  Orang yang mengamalkan ayat empat tersebut tidak terlihat ketika dalam kondisi perang .? namun yang terliat hanyalah Mandau /parang nya saja yang terbang.
Namun di terminalogi kekayaan kebatinan di ranah banjar… segala kekuatan  selama masih di  bumi…pasti ada kelemahannya .
Makanya ketika terjadi perang banjar di Kalimantan  bisa dikalahkan oleh belanda ..(yang dibantu  oleh Dayak sihong- sub etnis Maanyan)  walau pun Mandau /peluru /parang terbang bisa juga dikalahkan …?
ada satu ungkapan " yang merobohkan batang kayu pohon yang kuat itu dengan Kapak/parang /gergaji (besi) namun Gagang nya justru  lebih pakai kayu (pohon )"

politik pecah belah dari belanda sungguh luar biasa .....bahkan berakar sampai sekarang...
perpecahan masyarakat di kalimantan justru menguntungkan pihak asing....dengan memunculkan isu SARA

Dalam kontek madura – dayak  ,  suku bangsa banjar tidak bisa ikut campur  dalam peperangan secara langsung karena KAMI BANJAR BUKAN SUKU……karena Didalam NEGARA BANJAR (dulu) ….madura/dayak/jawa dan yang lain sampai sekarang masih Terlindungi  dan berpegang dengan prinsip BANJAR ADALAH SATU KESATUAN POLITIK ISLAM.
 Jadi barang siapa yang masuk dalam wilayah BANJAR  dan beragama islam suku apapun latar belakangnya ….dia Orang BANJAR.

BANJAR Tidak terlibat peperangan karena  orang dayak  ada yang (muslim) dan Madura (muslim). Karena peperangan tersebut terjadi bukan berlatar Agama
Jadi tak ada satupun  yang boleh di perangi karena  itu BANJAR Memilih Diam. Namun sesiapa yang masuk di wilayah banjar  sesiapapun itu  tetap Terlindungi  …..untuk itu dayak  dan madura di BANJAR tidak bisa berperang dan AMAN.. J.

Itulah mengapa  selama konflik  SUKU DAYAK KALTENG dan KALTIM tidak bisa  masuk ke perbatasan BANJAR yang netral dari konflik.

LEGENDA NYATA DARI ORANG BANJAR  YANG TERPUBLIKASI “PARANG TERBANG”  PANGLIMA SALLEH 




Legenda kehebatan ilmu suku banjar yang dituturkan  dari mulut ke mulut,nama-nama seperti Tentara sabil atau KUMPULAN PARANG TERBANG ‘ di Malaysia Mengarah kepada Kaum Etnik URANG BANJAR sungai manik di bawah pimpinan Tuan Guru Haji Bakri.Cerita  tentang ‘parang terbang’ yang memenggal  kepala  kaum komunis china daratan dan  kehebatan Pahlawan Banjar (Bagi Malaysia)yang anya bersenjatakan parang menentang Komunis China lengkap bersenjatakan senapan sudah Menjadi Legenda .
Nama-nama seperti Tuan Guru Haji Bakri, tetap menjadi Perbincangan anak-anak muda Sg Manik.

Bagi orang Banjar Sg Manik terutama keluarga bekas pejuang timbul satu kemarahan  kerana tiada official recognitions atau pengiktirafan terhadap perjuangan mereka yang membela harga diri orang Melayu. Bacalah mana-mana buku sejarah di sekolah,(Malaysia) tiada satu yang menyebut secara jelas tentang peristiwa itu mungkin kerana nak menjaga sensitiviti perkauman dimalaysia.

Di Batu Pahat misalnya, Kiyai Saleh yang membela  orang malaysia tetapi Justru Dato Onn yang dapat nama sebagai pahlawan. Walau pun mereka yang berjuang menyelamatkan bangsa malaysia,namun stigma yang terbangun justru sebagai satu kumpulan etnik yang ganas dan mudah marah dan peristiwa itu hanya sebagai satu titik hitam dalam sejarah Negara malaysia.
Parang Terbang kiyai Salleh

                                                        Gambar Parang Terbang kiai Salleh

"Pada tahun 1940an...heboh seantero malaysia perihal keajaiban parang yang berterbangan melibas mangsanya. sapa yang dikatakan terlibat? siapa lagi kalau bukan Kumpulan Selendang Merah. diceritakan orang bahwa kumpulan silat ini bertapak di daerah Muar dan Batu Pahat Johor.

Kumpulan ini juga turut terkenal di Sungai Manik Perak. kumpulan ini diketuai awalnya oleh Hj Mohd Salleh bin Abdul Karim yang turut dikenali sebagai Kiyai Salleh Selempang Merah...Panglima Salleh Selempang Merah dan Guru Salleh Parang Panjang.

Pada hujung 1945 dan awal 1946 Kiyai Salleh telah memimpin sekumpulan pejuang sukarela yang mahu menentang kekejaman Bintang Tiga di Muar Batu Pahat dan Pontian. kalau tengok pada mata kasar nampak macam parang terbang melibas bunuh orang tetapi sebenarnya menurut cerita...parang itu dipegang oleh ahli kumpulan Selendang Merah yang ghaib dan hanya parang saja dilihat terbang.


(diambil dari berbagai sumber)



83 komentar:

Sejarah Bangsa BANJAR di KALIMANTAN

Pada jaman dahulu, di Kalimantan berdiri sebuah kerajaan, Nagara Daha namanya. Kerajaan itu didirikan Putri Kalungsu bersama putranya, Raden Sari Kaburangan alias Sekar Sungsang yang bergelar Panji Agung Maharaja Sari Kaburangan. Raja Sekar Sungsang adalah seorang penganut Hindu yang taat. Baginda mendirikan candi yang amat besar dan megah di Kalimantan.
Pengganti Raja Sekar Sungsang adalah Maharaja Sukarama. Pada masa pemerintahannya, sering terjadi pemberontakan, yaitu antara Pangeran Samudera  Cucu Maharaja Sukarama pewaris tahta yang sah dan Pangeran Mangkubumi Putera Tertua maharaja sukarama .Dalam perebutan kekuasaan itu, justru Pangeran Mangkubumi yang berhasil menduduki tahta kerajaan.
Pemerintahan Pangeran Mangkubumi ternyata juga tidak berlangsung lama. Dalam perebutan kekuasaan berikutnya, Pangeran Mangkubumi akhirnya terbunuh dalam usahanya untuk memadamkan pemberontakan.

 Dan Sebagai pemegang tampuk pemerintahan yang baru adalah Pangeran Tumenggung yang masih marah dengan Pangeran Samudera.  Pangeran Samudera sebagai pewaris kerajaan yang sah menjadi amat sedih hatinya menyaksikan terjadinya perebutan kekuasaan yang tiada henti itu. Sang Pangeran pun merasa tidak aman jika tetap tinggal dalam lingkungan kerajaan karena lama-kelamaan orang-orang akan tahu dirinya sebagai pewaris kerajaan yang sah dan pastilah akan menjadi sasaran pembunuhan bagi yang sedang berkuasa. Atas bantuan orang-orang kepercayaannya di Kerajaan Nagara Daha, Pangeran Samudera melarikan diri. Ia menyamar dan hidup di daerah terpencil di sekitar muara sungai Barito.
Di Muara sungai Barito itu, terdapat kampung-kampung yang berbanjar-banjar atau berkelompok  seperti Kelompok Kampung Melayu ,Kampung Gedang,kampung bugis,kampung Arab ,kampong jawa,juga kampong Cina kampong-kampung tersebut melintasi tepi-tepi sungai. Kampung-kampung tersebut merupakan  kota perdagangan yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang dari berbagai negeri. Kota  itu di bawah kekuasaan seorang patih yang biasa disebut Patih Masih .Patih Masih mengetahui bahwa Pangeran Samudera, pemegang hak atas Nagara Daha yang syah, ada di wilayahnya. Kemudian, ia mengajak Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, dan Patih Kuin untuk berunding. Mereka bersepakat mencari Pangeran Samudera di tempat persembunyiannya untuk diangkat menjadi raja, memenuhi wasiat Maharaja Sukarama yang hindu.sementara dikota perdagangan saat itu sudah masuk masyarakat islam yang di bawa oleh suku malayu,Jawa,Arab.
Pangeran Samudera yang sebenarnya sudah tidak berambisi berebut kekuasaan akhirnya bersedia juga menjadi raja agar pergolakan akibat perebutan kekuasaan segera dapat diakhiri. Akhirnya dengan diangkatnya Pangeran Samudera menjadi raja di kuin sebagai pusat kerajaan dan kampung kelayan  sebagai Bandar perdagangan,yang kuat sehingga  semakin terdesaklah kedudukan Pangeran Tumenggung. Apalagi para patih di wilayah muara barito dan muara bahan ini tidak mengakuinya lagi sebagai raja yang sah. Mereka pun tidak menyerahkan upeti kepada Pangeran Tumenggung di Nagara Daha lagi


Tahun 1595, Pengaran Tumenggung pun menjadi sangat marah mengetahui Pangeran Samudera masih hidup dan menjadi raja di Muara barito ,Pangeran Tumenggung pun segera memerintahkan angkatan perangnya untuk menghancurkan Pangeran Samudera. Namun di muara barito pangeran samudera di dukung oleh suku-suku ,malayu,arab,bugis,jawa dan suku lainnya  di wilayah kota perdagangan tersebut semakin kuat Akhirnya perang dahsyat tak terhindarkan lagi dan berlangsung sampai berhari-hari. Korban pun mulai berjatuhan di kedua belah pihak. Hingga kekuatan pangeran  samudera terdesak atas permintaan para patih malayu yang muslim menyarankan agar minta bantuan prajurit demak dengan jumlah besar namun dengan perjanjian jika berhasil menaklukkan kerajaan Daha ,Pangeran samudera masuk Islam  akhirnya pun

Surat Kepada Sultan Demak (Sultan Trenggono)

Sultan Trenggana pernah mengirim pasukan ke Barunadwipa.[14] Datang Patih Balit itu membawa surat Sultan Demak, maka disuruh baca oleh Mangkubumi. Bunyinya:

Salam sembah putra andika pangeran di Banjar sampai kepada Sultan Demak. Putra andika mencatu nugraha tatulung bantu tatayang sampiyan, karena putra andika barabut karajaan lawan patuha itu namanya Pangeran Tumenggung. Tiada dua-dua putra andika mancatu nugraha tatulung bantu tatayang sampiyan. Adapun lamun manang putra andika mangawula kepada andika. Maka persembahan putra andika: intan sapuluh, pekat saribu gulung, tatudung saribu buah, damar batu saribu kindai, jaranang sapuluh pikul, lilin sapuluh pikul.

Demikianlah bunyinya surat itu. Maka sembah Patih Balit: ”Tiada dua-dua yang diharap putra andika nugraha sampiyan itu”. Banyak tiada tersebut. Maka kata Sultan Demak: Mau aku itu membantu lamun anakku Raja Banjar (kuala) itu masuk Islam. Lamun tiada masuk Islam tidak mau aku bertulung. Patih Balit kembali dahulu berkata demikian, maka kata Patih Balit: ”hinggih”.
Dikirimlah bala bantuan yang sangat besar saat itu ke muara barito yang dipimpin khatib dayyan untuk membantu peperangan dengan kerajaan daha  Pertempuran terjadi di Sangiang Gantung namun menelan banyak korban  sehingga  Pangeran Samudera amat sedih hatinya melihat begitu banyaknya korban di kedua belah pihak yang sebetulnya adalah saudara sendiri.
 Maka untuk menghindari jatuhnya korban lebih banyak lagi, Pangeran Samudera mengusulkan diadakan perang tanding atau duel antara kedua raja yang bertikai. Pihak yang kalah harus mengakui kedaulatan pihak yang menang.
Maka pada hari dan waktu yang sudah ditetapkan, Pangeran Tumenggung dan Pangeran Samudera naik sebuah perahu yang disebut talangkasan. Perahu-perahu itu dikemudikan oleh panglima kedua belah pihak. Kedua pangeran itu memakai pakaian perang serta membawa parang, sumpitan, keris, dan perisai atau telabang.
Pangeran Tumenggung dengan nafsu angkaranya begitu ingin membunuh Pangeran Samudera yang dianggap sebagai penghalang utamanya untuk berkuasa. Sebaliknya, Pangeran Samudera tidak tega berkelahi melawan pamannya untuk membunuhnya, biarpun berkali-kali ia mendapat kesempatan untuk membunuh Pamannya. Akhirnya, luluh juga hati Pangeran Tumenggung atas kemuliaan hati Pangeran Samudera. Kesadaran muncul, Mereka berpelukan saambil bertangis-tangisan.
Pangeran Tumenggung dengan hati tulus mernyarahkan kekuasaan kepada Pangeran Samudera. Artinya, Nagara Daha ada di tangan Pangeran Samudera. Akan tetapi, Pangeran Samudera bertekad menjadikan Bandar Masih atau Banjar Masih sebagai pusat pemerintahan sebab Bandar itu lebih dekat dengan muara Sungai Barito yang telah berkembang menjadi kota perdagangan. Tidak hanya itu, rakyat Nagara Daha pun dibawa ke Banjar Masih atau Banjar Masih. Pangeran Tumenggung diberi daerah kekuasaan di Batang Alai dengan seribu orang penduduk sebagai rakyatnya. Nagara Daha pun menjadi daerah kosong.
Pangeran Samudera mengubah namanya menjadi Sultan Suriansyah. Hari kemenangan Pangeran Samudera atau Sultan Suriansyah, 24 September 1526, dijadikan hari jadi kota Banjar Masih atau Bandar Masih. Karena setiap kemarau landing (panjang) air menjadi masin (masin), lama kelamaan nama Banjar Masih atau Bandar Masih menjadi Banjarmasin.
Akhirnya, Sultan Suriansyah pun meninggal. Makamnya sampai sekarang terpelihara dengan baik dan ramai dikunjungi orang. Letaknya di Kuin Utara, di pinggir Sungai Kuin, Kecamatan Banjar Utara, Kota Madya Daerah Tingkat II Bajarmasin.
Setiap tanggal 24 September Wali Kota madya Banjarmasin dan para pejabat berziarah ke makam itu untuk memperingati kemenangan Sultan Suriansyah atas Pangeran Tumenggung.

Ada cerita mengapa kota Banjar Kuala  berganti nama menjadi Banjar Masin. Karna setiap musim kemarau panjang air menjadi asin karena letak kota banjar saat ini pun masih  di muara sungai  dekat laut jawa,lama kelamaan nama Banjar kuala menjadi Banjar Masin. Dalam bahasa banjar asin = masin ,sehingga ketika ditanya kan identitas banjar mana ….orang hulu mengatakan banjar kuala atau banjar yang sungainya masin tuh nah….sementara banjar kuala menyebut orang hulu sungai dengan sebutan banjar pahuluan.

Komunitas banjar setelah periode ISLAM
Masyarakat banjar biasanya berdiam di pesisir sungai nah  dalam koalisi banjar di Kalimantan  dibagi  3 sub Banjar (kelompok besar) berdasarkan territorial politik nya dan unsur pembentuk suku berdasarkan perspektif kultural dan genetis yang menggambarkan percampuran penduduk pendatang dengan penduduk asli Dayak:
  1. Grup Banjar Kuala[29] adalah campuran orang Kuin, orang Batang Banyu, orang Dayak Ngaju (Berangas, Bakumpai)[30], orang Kampung Melayu[31], orang Kampung Bugis-Makassar[32], orang Kampung Jawa[33], orang Kampung Arab[34], dan sebagian orang Cina Parit yang masuk Islam (unsur Dayak Ngaju sebagai ciri kelompok). Proses amalgamasi masih berjalan hingga sekarang di dalam grup Banjar Kuala yang tinggal di kawasan Banjar Kuala - kawasan yang dalam perkembangannya menuju sebuah kota metropolitan yang menyatu (Banjar Bakula Warga ). Nah Disini lah cikal bakal  Terbentuknya Bangsa Banjar.




  1. Grup Banjar Pahuluan adalah campuran orang Melayu-Hindu dan orang Dayak Meratus yang berbahasa Melayik  (unsur Dayak Meratus/Bukit sebagai ciri kelompok) banjar pahuluan ini menurut tradisi lisan suku dayak Maratus : merupakan dayak murni dari maratus di selatan dan  dari maanyan di bagian utara banjar. 
  2. Grup Banjar Batang Banyu adalah campuran orang Pahuluan, orang Melayu-Hindu/Buddha, orang Keling-Gujarat, orang Dayak Maanyan, orang Dayak Lawangan, orang Dayak Bukit dan orang Jawa-Hindu Majapahit (unsur Dayak Maanyan sebagai ciri kelompok)
Dengan mengambil pendapat Idwar Saleh tentang inti suku Banjar, maka percampuran suku Banjar dengan suku Dayak Ngaju/suku serumpunnya (Kelompok Barito Barat) yang berada di sebelah barat Banjarmasin (Kalimantan Tengah) dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Kuala juga. Di sebelah utara Kalimantan Selatan terjadi percampuran suku Banjar dengan suku Maanyan/suku serumpunnya (Kelompok Barito Timur) seperti Dusun, Lawangan dan suku Pasir di Kalimantan Timur yang juga berbahasa Lawangan, dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Batang Banyu. Percampuran suku Banjar di tenggara Kalimantan yang banyak terdapat suku Bukit kita asumsikan sebagai Banjar Pahuluan.
















1 komentar:

Selasa, 23 April 2013

HIKAYAT DAYAK & BANJAR VERSI URANG BANUA

HIKAYAT DAYAK & BANJAR VERSI URANG BANUA
Oleh: Datu Panglima Alai

(Admin Grup FB: BUBUHAN KULAAN URANG ALAI BORNEO)
Sekitar tahun 3000-1500 S.M untuk pertama kalinya Pulau Kalimantan kedatangan Imigran yang berasal dari daerah Yunan di China Bagian Selatan. Imigran dari Yunan inilah yang menjadi cikal bakal suku Dayak di pulau Kalimantan atau dikenal pula dengan istilah suku “Melayu Tua”. Dari Legenda suku Melayu Tua (Dayak) ini disebutkan bahwa terdapat lima kelompok besar yang dipimpin Lima bersaudara yaitu Abal, Anyan, Aban, Anum dan Aju. Kelima bersaudara ini sangat sakti, bijaksana dan berwibawa. Menurut cerita suku Dayak Tua, kelima saudara ini titisan dari Dewa Batara Babariang Langit, yaitu : titisan Dewa Batahara Sangiang Langit. Batara Babariang Langit kawin dengan Putri Mahuntup Bulang anak dari Batari Maluja Bulan dan Melahirkan Maanyamai, dan Maanyamai beristri dan istrinya melahirkan anak bernama Andung Prasap Konon sangat sakti. Dan membangun Negeri Nan Marunai (Nan Sarunai) kemudian Andung Prasap beristri anak Raja menggaling Langit dan melahirkan kelima saudara tersebut di atas. Kelima saudara inilah kelak menjadi cikal bakal suku Dayak di pulau Kalimantan. Mereka mengembara ke pelosok pulau Kalimantan, konon si Abal ke daerah Timur menurunkan suku Aba, Anyan ke daerah Selatan menurunkan suku Manyan, Aban ke daerah Barat menurunkan suku Iban, Anum ke Utara menurunkan suku Otdanum dan Aju ke daerah Tengah menurunkan suku Ngaju. Dan mereka diberi pitua :” Tabu/ dilarang bacakut papadaan apalagi bermusuhan, karena mereka satu daerah satu nyawa, menurut pitua Nenek Moyang mereka mengatakan (pitua) terkutuk apabila bakalahi satamanggungan.
Dari cerita silsilah keturunan Dayak tersebut adalah Anyan anak nomor dua menurunkan suku Maanyan yang mengembara ke daerah selatan mempunyai 10 orang anak yang dikenal dengan sebutan “cucu urang 10” yaitu Luwa, Pahi, Alai, Wangi, Sari, Aju, Burai, Buun, Kutip dan Asih. Mereka ini adalah cikal bakal penduduk Kalimantan Selatan, sebagian ke daerah Barito Selatan dan Timur (Kalteng) serta ke daerah Pasir (Kaltim). Luwa menjadi cikal bakal urang Kalua, Pahi jadi cikal bakal urang Mahi, Alai menjadi cikal bakal urang Birayang (HST), Wangi menjadi cikal bakal urang Mawangi (HSS), Sari menjadi cikal bakal urang Masari/Marga Sari (Tapin), Aju menjadi cikal bakal urang Biaju, Burai menjadi cikal bakal urang Maburai (Tabalong), Buun menjadi cikal bakal urang Mabuun dan Warukin, Kutip menjadi cikal bakal urang Makutip dan Asih menjadi cikal bakal urang Masih (Alalak).
Pada abad ke-5 M berdiri sebuah kerajaan di Kalimantan Selatan bernama Kerajaan Tanjungpuri. Berdirinya kerajaan ini bermula dari kedatangan para Imigran Melayu dari Koloni Sriwijaya di pulau Sumatera pada sekitar abad ke- 4 M. Para Imigran Melayu yang mempunyai kebudayaan lebih maju dibanding penduduk lokal pada masa itu mendirikan perkampungan kecil yang kuat di daerah pesisir sungai Tabalong. Para imigran tersebut berbaur bahkan melakukan perkawinan dengan penduduk setempat yakni suku Dayak. Hasil dari perpaduan antara suku Melayu dan Dayak itulah yang akhirnya menjadi cikal bakal Suku Banjar. Semakin lama perkampungan di pesisir sungai Tabalong itu semakin ramai sehingga akhirnya menjadi sebuah kerajaan kecil bernama kerajaan Tanjungpuri (diperkirakan terletak di kota Tanjung sekarang).
Keturunan Anyan dari anaknya Masari mendirikan kerajaan Candi Laras di Margasari (Kab. Tapin sekarang) pada Tahun 678 M. Bukti keberadaan Kerajaan Candi Laras adalah Tulisan di Prasasti “Kedukan Bukit” yang terdapat di kota Palembang bertahun 605 Saka/ 683 M berhuruf Pallawa. Isi tulisan “Daputra yang mengadakan perjalanan suci dengan perahu dari Minanga Tamwan membawa dua laksa tentara menuju timur”. Bukti lainnya adalah Prasasti Batung Batulis yang ditemukan di kompleks Candi Laras Margasari bertahun 606 Saka. Isi tulisannya adalah “Jaya Sidda Yatra” yang artinya perjalanan Ziarah. Menurut Arkeologi Nasional prasasti tersebut berasal dari Sriwijaya. Jadi dua buah prasasti tersebut mempunyai keterkaitan karena memiliki kesamaan yaitu berhuruf Pallawa. Prasasti Kedukan bukit bertahun 605 Saka yang merupakan Tahun keberangkatan dari Sriwijaya dan Prasasti Batung Batulis bertahun 606 Saka yang merupakan Tahun kedatangan di Candi Laras Marga Sari, merupakan hal yang logis sebab perjalanan waktu itu mungkin saja mencapai setahun dari Sriwijaya ke Candi Laras di Pulau Kalimantan. Sehingga menghapus mitos selama ini yang mengatakan bahwa Candi laras didirikan oleh Ampu Jatmika asal Keling pada Tahun 1387 M. Bukti lainnya lagi adalah ditemukannya Patung Buddha dipangkara, patung tersebut dikenal sebagai azimat keselamatan bagi pelaut Sriwijaya yang beragama Buddha. Jadi sebenarnya yang datang ke Candi Laras di Marga Sari itu adalah rombongan dari kerajaan Sriwijaya pada Tahun 683 M.
Pada Tahun 1309 M orang-orang Maanyan mendirikan sebuah Kerajaan bernama Nan Sarunai. Kerajaan Nan Sarunai ini konon lanjutan dari periode sebelumnya dimana dahulu pernah berdiri juga kerajaan Nan Marunai (Nan Sarunai) oleh lima orang bersaudara yang merupakan leluhur orang Dayak di Kalimantan. Pada periode kedua ini Nan Sarunai didirikan oleh Japutra Layar. Nan Sarunai sendiri berasal dari kata Marunai = memanggil dengan suara nyaring, Sarunai = menyaru dengan suara seperti suling, Nai = Seruling (dalam bahasa arab/melayu tua) sehingga dapat di artikan bahwa Nan Sarunai adalah rakyat yang gemar bermain musik/bernyanyi. Kerajaan Nan Sarunai ini rakyatnya sangat makmur disebabkan mereka melakukan perdagangan sampai ke Sumatera, Jawa, Sulawesi bahkan sampai ke Madagaskar. Bahkan Bahasa rumpun MADAGASKAR sehari hari sampai sekarang masih  banyak kesamaan dengan bahasa maanyan.  Barang dagangan yang mereka bawa keluar antara lain kayu besi, getah, damar, rotan, madu lebah hutan dan lain-lain. Rakyat kerajaan nan Sarunai ini menganut kepercayaan Kaharingan.
Pada masa itu kerajaan Majapahit di pulau Jawa sedang berusaha menancapkan kekuasaannya di seluruh Nusantara. Adalah Maha Patih Gajah Mada (1313-1364) seorang mangkubumi terkenal Majapahit yang melakukan sumpah saat diangkat menjadi Mangkubumi Kerajaan pada Tahun 1336 M di masa kekuasaan Ratu Tribhuwana Tunggadewi (1328-1350) dikenal dengan “Sumpah Palapa” yaitu sebuah tekad untuk mempersatukan seluruh Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Ambisi Maha Patih Gajah Mada berlanjut sampai Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) naik tahta.
Salah satu kerajaan incaran Majapahit untuk ditaklukkan adalah kerajaan Nan Sarunai dan kerajaan Tanjungpuri. Pada masa itu dua kerajaan ini merupakan wilayah perdagangan yang ramai, rakyatnya hidup makmur bahkan diceritakan dinding-dinding Istana kedua kerajaan ini berlapis emas sebagai tanda kemakmuran. Maha Patih Gajah Mada mengutus seorang panglima handalnya untuk memata-matai kedua kerajaan ini yaitu Laksamana Nala , seorang berdarah Melayu asal Melaka (menguasai teknologi angkatan Laut Termodern saat itu) yang mengabdi kepada kerajaan Majapahit. Atas hasil penyelidikan Laksamana Nala akhirnya Majapahit mengetahui kelemahan kedua kerajaan ini, sehingga pada Tahun 1356 M Majapahit mengirimkan ekspedisi militer pertamanya ke kerajaan Nan Sarunai sebagai batu loncatan untuk selanjutnya menyerang Tanjungpuri. Serangan pertama ini mengalami kegagalan sebab kerajaan Nan Sarunai bersatu dengan kerajaan Tanjungpuri dalam menghadapi serangan Majapahit.
Tersebutlah dalam legenda lima orang panglima Tanjungpuri yang terkenal ketika membantu kerajaan Nan Sarunai menghadapi serangan Majapahit yaitu Panglima Alai, Panglima Tabalong, Panglima Balangan, Panglima Hamandit dan Panglima Tapin. Kelima orang panglima ini merupakan lima bersaudara dimana si bungsu yaitu Panglima Hamandit dan Panglima Tapin adalah saudara kembar. Mereka berlima anak dari Datu Intingan yang terkenal dalam legenda masyarakat di pegunungan Meratus. Datu Intingan adalah saudara dari Datu Dayuhan mereka berdua ini masih keturunan dari legenda Dayak Maanyan “cucu urang 10” dimana salah satu anak dari Datu Anyan yaitu Datu Alai (Alai Tua) menetap di wilayah Birayang (Meratus) yang menurunkan Datu Dayuhan dan Datu Intingan. Datu Intingan kawin dengan para Imigran Melayu dan mempunyai lima orang putera yang sekarang menjadi Panglima di Kerajaan Tanjungpuri.
Setelah gagal dalam ekspedisi pertama, Majapahit kembali mengirim ekpsedisi militer kedua pada Tahun 1358 M. Ekspedisi kedua kali ini dipimpin langsung oleh Laksamana Nala dengan membawa dua kali lipat pasukan dari ekspedisi pertama. Dalam rombongan pasukan besar ini terdapat juga pasukan khusus Majapahit yang terkenal yaitu pasukan “Bhayangkara”. Pada ekspedisi kedua ini pasukan Majapahit berhasil menaklukkan kerajaan Nan Sarunai, bahkan Raja Nan Sarunai yang bergelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas serta Ratu yang bergelar Dara Gangsa Tulen gugur dalam peperangan. Peristiwa itu oleh orang Maanyan dikenal dengan istilah “Nan Sarunai Usak Jawa”. Konon Raja Nan Sarunai di bunuh oleh Laksamana Nala dengan sebuah tombak sakti di dalam sebuah sumur tempat persembunyiannya. Laksamana Nala adalah seorang panglima malayu terhebat Majapahit di masa itu, karirnya dimulai dari menjadi prajurit pasukan khusus kerajaan yaitu pasukan Bhayangkara. Setahun sebelum ekspedisi militer kedua ke Tanah Borneo yaitu pada Tahun 1357 M, Laksamana Nala terlibat dalam “Perang Bubat” melawan pasukan Pajajaran mendampingi Maha Patih Gajah Mada. Perang ini terjadi akibat kesalah pahaman di antara kedua pasukan. Dalam perang tersebut Prabu Lingga Buana Raja Pajajaran beserta seluruh pengawalnya terbunuh, karena menghadapi pasukan Majapahit yang berkali-kali lipat lebih banyak, melihat ayahnya terbunuh anak Prabu Lingga Buana yang bernama Putri Dyah Pitaloka bunuh diri, padahal Putri Dyah Pitaloka ini rencananya hendak di lamar oleh Prabu Hayam Wuruk. Akibat dari peperangan ini hubungan Maha Patih Gajah Mada dengan Prabu Hayam Wuruk menjadi terganggu, dan juga mengakibatkan permusuhan yang berkepanjangan antara orang Sunda dan Majapahit, konon tak satu pun daerah di Sunda (Jawa Barat) menggunakan nama berbau Majapahit.
Setelah berhasil menaklukkan Nan Sarunai pasukan Majapahit bergerak menuju Tanjungpuri namun pasukan Majapahit mendapati perlawanan yang kuat dan  hebat dari pasukan dan rakyat Tanjungpuri terutama dari lima orang panglima kerajaan yang terkenal tersebut. Setelah berhari-hari berperang akhirnya kedua pasukan sepakat untuk berdamai dan tidak melanjutkan peperangan. Pasukan Majapahit kembali ke pulau Jawa dengan kekecewaan mereka tidak sanggup lagi melanjutkan peperangan karena sebelumnya sudah kelelahan berperang menghadapi kerajaan Nan Sarunai, sedangkan pihak Tanjungpuri mengalami kehancuran dimana-mana Infrastruktur kerajaan banyak yang rusak. Akibat dari peperangan tersebut kerajaan Tanjungpuri menjadi lemah, perdagangan yang dahulu ramai menjadi sunyi karena para pedagang takut untuk singgah di pelabuhan ketika mendengar ada peperangan.
Sebagai tanda terima kasih kepada lima orang Panglima kerajaan, Raja Tanjungpuri memberikan kelima orang Panglimanya wilayah kekuasaan. Panglima Alai di daerah Batang Alai, Panglima Tabalong di daerah Batang Tabalong, Panglima Balangan di daerah Batang Balangan, Panglima Hamandit di daerah Batang Hamandit dan Panglima Tapin di daerah Batang Tapin. Raja Tanjungpuri sendiri akhirnya memindahkan pusat kerajaan ke daerah Kuripan (Amuntai) karena kota raja sebelumnya (Tanjung) banyak mengalami kehancuran akibat diserang Majapahit. Lambat laun nama Tanjungpuri semakin terlupakan dan lebih dikenal dengan sebutan baru yaitu Kuripan. Kekuasaan kerajaan Kuripan melingkupi daerah yang sama dengan kekuasaan kerajaan Tanjungpuri.
Pada Tahun 1387 M seorang bangsawan dari Keling (Kediri) yang merupakan wilayah Majapahit melakukan ekspedisi ke tanah Borneo, pertama-tama mereka menaklukkan kerajaan Candi laras di Marga Sari. Ekspedisi ini di pimpin oleh Empu Jatmika, di bantu oleh dua orang putranya yaitu Lambungmangkurat dan Mandastana. Dalam rombongan itu juga turut serta Pasukan Bhayangkara di bawah pimpinan Hulubalang Arya Megatsari dan 1000 tentara Majapahit di bawah pimpinan Tumenggung Tatah Jiwa. Empu Jatmika sendiri sebenarnya adalah seorang buronan politik masa lalu Majapahit. Karena Empu Jatmika adalah keturunan bangsawan kerajaan Kediri yang merupakan musuh kerajaan Singosari (leluhur Majapahit) di masa lalu. Setelah berhasil menguasai Candi Laras Empu Jatmika mendirikan kerajaan Negaradipa dan diangkat sebagai kepala pemerintahan dengan gelar Maharaja di Candi. Dengan bantuan Majapahit akhirnya Negaradipa menjadi kerajaan yang kuat. Namun demikian sebagai timbal baliknya Negaradipa menjadi Negara bagian Majapahit atau dikenal dengan istilah “sakai”. Walau Negaradipa cukup kuat tapi untuk menyerang kerajaan Kuripan masih berpikir dua kali karena walau bagaimana pun kekuatan Kuripan waktu itu masih diperhitungkan, apalagi ada lima kerajaan kecil yang dipimpin oleh mantan Panglima/Pangkalima  kerajaan Tanjungpuri ada dibelakangnya. Untuk memuluskan rencananya Maharaja di Candi  dengan politik perkawinan merayu Raja Kuripan agar mau mengawinkan putrinya dengan putranya, namun Raja Kuripan menolak, tidak putus asa Lambungmangkurat yang bertindak sebagai Mangkubumi menawarkan kekuasaan penggabungan  kedua kerajaan dan serta merta mengangkat Putri Junjung Buih anak Raja Kuripan sebagai ratu Negaradipa. Akhirnya Raja Kuripan menerima tawaran tersebut dengan berbagai pertimbangan, walau dari awal banyak ditentang oleh para kerabat dan pejabat Kahuripan sebagai politik belaka. Negaradipa pun memindahkan pusat kerajaan ke Kuripan. Atas keputusannya yang kontroversi itu membuat Raja Kuripan merasa sangat bersalah sementara untuk melakukan peperangan sudah mustahil karena antara dipa dan kuripan sudah ada ikatan perkawinan artinya sama saja dengan membunuh ayah dari cucu-cucu nya sendiri dan hingga akhirnya mengasingkan diri (menenangkan diri) diikuti beberapa kerabat ke daerah Batu Piring (Paringin) . Di Batu Piring Raja Kuripan mendirikan kerajaan kecil bernama Kerajaan Batu Piring dan saudara raja diangkat sebagai kepala pemerintahannya.
Walau pun Junjung Buih sudah diangkat menjadi Ratu di Negaradipa namun semua kebijakan tetap ditangan Patih Lambungmangkurat. Negaradipa ternyata kepanjangan tangan Majapahit di Pulau Kalimantan, Beberapa Pangeran Kuripan yang kecewa ikut pergi meninggalkan Istana, namun diburu oleh pihak Negaradipa karena dikawatirkan akan melakukan pemberontakan. Para Pangeran melarikan diri ke daerah Batang Alai dan diangkat menjadi pemimpin di daerah tersebut. Merasa terancam Patih Lambungmangkurat memerintahkan menyerang daerah Banua Lima, yaitu Batang Alai, Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Hamandit dan Batang Tapin. Kerajaan Batu Piring sendiri luput dari penyerangan karena bersedia menjadi bagian dari kerajaan Negaradipa. Dibantu oleh pasukan Majapahit pimpinan Hulubalang Arya Megatsari dan Tumenggung Tatah Jiwa kelima daerah itu bisa ditaklukkan. Sementara Pangeran Kuripan berhasil diselamatkan oleh para Panglima dan disembunyikan di daerah Mangga Jaya (Wilayah Kec. Batang Alai Timur sekarang) di pegunungan Meratus. Daerah Mangga Jaya sendiri konon sulit ditaklukkan oleh Negaradipa beberapakali pasukan Negaradipa dikirim kesana namun tidak pernah berhasil menaklukkan daerah Manggajaya, sebab menurut legenda setempat di sana tempat berkumpulnya para Panglima Banua Lima yang sakti dan juga topografi daerahnya yang dikelilingi banyak pegunungan sehingga sangat bagus untuk sebuah tempat pertahanan.
Bahan/Sumber:
1.Tulisan Mudjahidin. S (Pemerhati Budaya dan Kebudayaan).
2.Hikayat Datu Banua Lima (Cerita Rakyat Hulu Sungai)
3.Hikayat Manggajaya (Cerita Rakyat Batang Alai)
4.Wikipedia (Ensiklopedia Bahasa Indonesia)
http://banuahujungtanah.wordpress.com

0 komentar: